Senin, 02 Maret 2015

41 Juta Hektar Hutan Nasional Rusak Akibat Pembalakan Liar

sumber : http://www.rmol.co/read/2012/11/24/86712/41-Juta-Hektar-Hutan-Nasional-Rusak-Akibat-Pembalakan-Liar-
Kerusakan Lingkungan Mengundang Bencana Alam
Sabtu, 24 November 2012 , 09:06:00 WIB

RMOL.Kerusakan hutan Indonesia akibat kegiatan illegal logging maupu illegal mining semakin luas. Sampai saat ini, dari 130,68 juta hektar hutan nasional, 41 juta hektar hutan menjadi gundul.
Akibat dari illlegal logging alias pembalakan liar saja negara di­tak­sir mengalami kerugian tri­liunan rupiah. Hal tersebut di­ungkapkan Direktur Jenderal Per­lindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan Darori kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
“Di delapan provinsi saja sejak 2004-2012 terjadi 2.494 kasus pembalakan liar untuk lahan perkebunan dan pertambangan ilegal. Akibat illegal logging saja ne­­gara berpotensi merugi  Rp 276,4 triliun,” katanya.
Dikatakan, tren kasus illegal log­ging mengalami penurunan yang signifikan setiap tahunnya. Bila pada tahun lalu 2.000 kasus, tahun ini 100 kasus. Hal tersebut juga berimbas pada kerusakan hutan pada tahun 1998-2002 se­luas 3,5 juta ha per tahun meng­alami penurunan di tahun 2010-2011 menjadi 320 ribu ha per tahun.

Anak buah Zulkifli Hasan ini mengklaim, hal tersebut tak lepas dari upaya pemerintah yang terus menekan kasus pembukaan ka­wasan hutan secara ilegal me­lalui proses penegakan hukum.
Kemenhut juga meng­inten­sifkan pemerik­sa­an ter­ha­dap oknum-oknum yang terin­dikasi melakukan perambahan hutan secara ilegal. Sudah banyak pe­laku pembalakan liar yang diusut dan disidangkan. “Seti­daknya kami sudah menyidik 67 kasus terkait pelanggaran hutan,” ung­kapnya.
Untuk menangani kasus keru­sakan lingkungan dalam skala lebih besar, Kemenhut memben­tuk tim gabungan yang di da­lamnya terdapat unsur penegak hukum. “Keseriusan pemerintah me­mbasmi kerusakan hutan juga melibatkan KPK, Polri, dan Ke­jaksaan,” ucapnya.
Kepala Hubungan Masyarakat Kemenhut, Sumarto menambah­kan, selain upaya penindakan, da­lam menangani kasus kerusakan hutan, lembaganya juga gencar me­lakukan pencegahan. Salah sa­tunya dengan mengadakan pro­gram penanaman satu juta pohan.
Tahun lalu Kemenhut sudah melakukan penanaman 1,5 juta pohon, dan pada tahun ini diha­rap­kan bisa ditingkatkan, se­hing­ga dalam kurun waktu 25 sampai 30 tahun Indonesia kem­bali hijau.
Program itu dilakukan atas dasar perhitungan potensi keru­gian negara yang besar akibat ille­gal logging dan illegal mi­ning.  Tidak hanya dari sisi eko­nomi, melainkan juga ekologi yang ni­lainya kerugiannya tidak bisa di­ukur oleh uang.
“Kalau satu hektar ada seribu po­hon, dan satu pohonnya dihar­gai Rp 300.000, maka hanya Rp 300 juta kerugian per hektar. Tapi bila akibat illegal logging itu sampai terjadi banjir dan me­nim­bulkan wabah penyakit be­rapa tentu sangat besar,” papar­nya.
Terpisah, Kepala Biro Pene­rangan Masyarakat Divisi Hu­mas Polri, Brigjen Boy Rafli Amar mengaku terus memburu pelaku kejahatan illegal logging. Bahkan, sepanjang tahun 2012, pihaknya sudah mengamankan ri­­buan meter kubik. “Kami meng­­gelar operasi hutan lestari. Belum lama ini di Ka­limantan, be­kerja sama dengan dinas kehu­tanan,” katanya.
Sekalipun pembalakan liar saat ini masih marak terjadi, tidak menyurutkan semangat Polri untuk memberantasnya. Salah satunya melalui program Patroli Multi Sasaran (PMS).
Berantas Pembalak Tanpa Iming-iming Uang
Agus Purnomo, Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim
Untuk memberantas kasus pembalakan liar, pemerintah te­lah menerbitkan aturan berupa In­pres No 10/2011 mengenai pe­nun­daan izin tebang hutan se­mentara selama dua tahun untuk ka­wasan hutan primer dan gambut.
“Moratorium ini murni inisiatif Indonesia tanpa paksaan dari ne­gara lain atau iming-iming uang.”
Rugulasi tersebut merupakan langkah awal kebijakan peme­rintah untuk mengelola hutan le­bih baik dan efektif.  Selama ini, Indonesia ikut berpartisipasi da­lam penurunan karbon dan gas emi­si rumah kaca dipersepsikan karena iming-iming pendanaan se­banyak 1 miliar dolar AS atau­pun proyek besar antar nega­ra. ”Padahal tidak ada proyek be­sar sama sekali, uang itu akan ada jika pengurangan emisi terjadi.”
Fasilitas pembayarannyapun harus diverifikasi dan diukur pi­hak ketiga. Jika memang ada pe­rubahan rencana kerja dan ter­bukti bisa menurunkan emisi gas rumah kaca maka negara yang bersangkutan memang berhak mendapatkan pembayaran.
Sebagai contoh, Norwegia ber­peran sebagai negara yang bisa membayarkan uang tersebut ka­rena tidak bisa berkontribusi me­nurunkan emisi melalui hu­tan­nya.
Sementara sejumlah negara me­nolak membuat komitmen serupa. Contohnya, China tidak mau menurunkan emisi gas ru­mah kaca (GRK) selama negara maju lain tidak berkontribusi menurunkan emisi dalam jumlah yang lebih besar.
“Sedangkan Amerika tidak mau melakukan komitmen baik penurunan gas rumah kaca mau­pun menyumbangkan uang kepa­da negara yang bersedia melaku­kannya. “Jadi ini tidak bisa dipak­sakan.” terangnya.
Untuk diketahui, Indonesia berkomitmen bisa menurunkan emisi gas rumah kaca dan karbon sebanyak 26 persen pada 2020  dengan menandatangani morato­rium lahan gambut dan primer dengan kompensasi dana sebesar 1 miliar dolar AS.
Dunia Internasional Pantau Indonesia

E. Herman Khaeron, Wakil Ketua Komisi IV DPR
Hukuman kepada kejahatan illegal logging sangat ringan se­hingga tidak menimbulkan efek jera. Patut diduga hal tersebut dise­babkan adanya  kongkali­kong dengan oknum aparat pe­negak hukum.
“Kami sejak dulu mendesak agar hukuman pembalak liar diperberat. Selama itu tidak dilakukan hutan kita tak pernah aman.”
Salah satu upaya yang dila­kukan DPR adalah bekerja ke­ras segera merampungkan RUU Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar (P3L). De­ngan aturan baru itu diharapkan bisa menekan kejahatan perusa­kan hutan.
Dalam pembahasan RUU  P3L itu juga disetujui tentang sta­tus hutan lindung, hutan in­dustri, dan semua ratifikasi kon­versi internasional tentang ling­ku­ngan hidup, dan money laundering.
Selain itu akan diatur pula  ma­salah pemberian penghar­gaan bagi petugas yang berjasa, pemberian sanksi pidana bagi pejabat daerah yang dianggap lalai, dan pemberian hukuman maksimal bagi pelaku illegal log­ging. “Nantinya aparat pene­gak hukum memiliki instrumen hukum yang kuat menjerat cukong-cukong yang selama ini tidak tersentuh.”
DPR memiliki alasan kuat supaya lembaga yang menjalan­kan fungsi P3L cepat terbentuk. Maraknya terjadinya kasus pene­bangan liar atau illegal log­ging itu sebagai akibat lemah­nya sis­tem pengamanan hutan di se­luruh daerah. Apalagi, tidak se­dikit kepala daerah yang mem­berikan izin secara sepihak bagi perusahaan perambahan hutan. “Makanya dalam setiap kasus-kasus illegal logging dan illegal mining tidak sedikit para bupati sampai gubernur yang berurusan dengan lembaga penegak hukum.”
Pembalakan hutan yang ter­jadi di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Masyarakat, petugas, dan pengusaha sedikit se­kali yang peduli terhadap dam­pak kegundulan hutan In­do­nesia.  Padahal, illegal log­ging merupakan tindakan keja­ha­tan luar biasa yang merugikan ma­syarakat, kelangsungan hi­dup jutaan hewan, dan memo­tong mata rantai kehidupan.
Kalau tidak cepat ditang­gu­langi akan datang kerugian dan bencana yang lebih besar, bukan hanya kayu-kayu yang dicuri, tapi lingkungan sekitar akan semakin hancur. Sungguh tra­gis, para mafia hutan yang men­da­patkan keuntungan, tapi ma­syarakat yang harus menang­gung keru­gian­nya.  Perlu biaya dan waktu lama untuk mengem­balikan kon­disi kerusakan alam akibat tindak pidana hutan kem­bali ke kondisi semula. “Du­nia inter­nasional terus memantau langkah Indo­ne­sia menangani masalah pem­balakan liar.”
Ekologi Rusak, Hutan Rusak
Zenzi Suhadi, Juru Kampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar Walhi
Sekalipun Kemenerian Ke­hutanan sudah mengklaim laju kerusakan hutan di Indonesia menurun. Tapi, Wahana Ling­ku­ngan Hidup Indonesia (Wal­hi) menilainya masih sangat luas dan merugikan negara.
“Kegiatan pertambangan dan perkebunan illegal memberikan kontribusi terbesar atas kerusa­kan hutan di tanah air.”
Masih tingginya tingkat keru­sakan hutan itu sebagai dampak dari kemudahan dalam pembe­rian izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk kepen­tingan bisnis pertambangan dan perkebunan.
Berdasarkan catatan Walhi, awal tahun ini saja Kemenhut mengeluarkan izin prinsip dan pinjam pakai kawasan hutan un­tuk 1.156 lokasi pertam­ba­ngan. Padahal lokasi tambang itu ber­status tumpang tindih dan ber­sing­gungan dengan kawasan hu­tan primer seluas 2,3 juta hek­tare. Kesan yang timbul adalah pe­­merintah bukan melindungi ekologi yang ada di dalam hutan tapi melindungi kawasan hutan­nya saja.
Padahal fungsi ekologi dalam hutan sangat penting. Sebab, bila ekologi rusak praktis hutan akan rusak pula. “Selama ini proyek-proyek rehabilitasi hu­tan yang didengungkan pe­merintah masih jauh dari ha­rapan.” [Harian Rakyat Merdeka]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar