sumber : http://www.rmol.co/read/2012/11/24/86712/41-Juta-Hektar-Hutan-Nasional-Rusak-Akibat-Pembalakan-Liar-
Kerusakan Lingkungan Mengundang Bencana Alam
Sabtu, 24 November 2012 , 09:06:00 WIB
RMOL.Kerusakan
hutan Indonesia akibat kegiatan illegal logging maupu illegal mining
semakin luas. Sampai saat ini, dari 130,68 juta hektar hutan nasional,
41 juta hektar hutan menjadi gundul.
Akibat dari illlegal logging alias pembalakan liar saja negara
ditaksir mengalami kerugian triliunan rupiah. Hal tersebut
diungkapkan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Kementerian Kehutanan Darori kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
“Di delapan provinsi saja sejak 2004-2012 terjadi 2.494 kasus
pembalakan liar untuk lahan perkebunan dan pertambangan ilegal. Akibat
illegal logging saja negara berpotensi merugi Rp 276,4 triliun,”
katanya.
Dikatakan, tren kasus illegal logging mengalami penurunan yang
signifikan setiap tahunnya. Bila pada tahun lalu 2.000 kasus, tahun ini
100 kasus. Hal tersebut juga berimbas pada kerusakan hutan pada tahun
1998-2002 seluas 3,5 juta ha per tahun mengalami penurunan di tahun
2010-2011 menjadi 320 ribu ha per tahun.
Anak buah Zulkifli Hasan ini mengklaim, hal tersebut tak lepas dari
upaya pemerintah yang terus menekan kasus pembukaan kawasan hutan
secara ilegal melalui proses penegakan hukum.
Kemenhut juga mengintensifkan pemeriksaan terhadap oknum-oknum
yang terindikasi melakukan perambahan hutan secara ilegal. Sudah banyak
pelaku pembalakan liar yang diusut dan disidangkan. “Setidaknya kami
sudah menyidik 67 kasus terkait pelanggaran hutan,” ungkapnya.
Untuk menangani kasus kerusakan lingkungan dalam skala lebih besar,
Kemenhut membentuk tim gabungan yang di dalamnya terdapat unsur
penegak hukum. “Keseriusan pemerintah membasmi kerusakan hutan juga
melibatkan KPK, Polri, dan Kejaksaan,” ucapnya.
Kepala Hubungan Masyarakat Kemenhut, Sumarto menambahkan, selain
upaya penindakan, dalam menangani kasus kerusakan hutan, lembaganya
juga gencar melakukan pencegahan. Salah satunya dengan mengadakan
program penanaman satu juta pohan.
Tahun lalu Kemenhut sudah melakukan penanaman 1,5 juta pohon, dan
pada tahun ini diharapkan bisa ditingkatkan, sehingga dalam kurun
waktu 25 sampai 30 tahun Indonesia kembali hijau.
Program itu dilakukan atas dasar perhitungan potensi kerugian negara
yang besar akibat illegal logging dan illegal mining. Tidak hanya
dari sisi ekonomi, melainkan juga ekologi yang nilainya kerugiannya
tidak bisa diukur oleh uang.
“Kalau satu hektar ada seribu pohon, dan satu pohonnya dihargai Rp
300.000, maka hanya Rp 300 juta kerugian per hektar. Tapi bila akibat
illegal logging itu sampai terjadi banjir dan menimbulkan wabah
penyakit berapa tentu sangat besar,” paparnya.
Terpisah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri,
Brigjen Boy Rafli Amar mengaku terus memburu pelaku kejahatan illegal
logging. Bahkan, sepanjang tahun 2012, pihaknya sudah mengamankan
ribuan meter kubik. “Kami menggelar operasi hutan lestari. Belum
lama ini di Kalimantan, bekerja sama dengan dinas kehutanan,”
katanya.
Sekalipun pembalakan liar saat ini masih marak terjadi, tidak
menyurutkan semangat Polri untuk memberantasnya. Salah satunya melalui
program Patroli Multi Sasaran (PMS).
Berantas Pembalak Tanpa Iming-iming Uang
Agus Purnomo, Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim
Untuk memberantas kasus pembalakan liar, pemerintah telah
menerbitkan aturan berupa Inpres No 10/2011 mengenai penundaan izin
tebang hutan sementara selama dua tahun untuk kawasan hutan primer dan
gambut.
“Moratorium ini murni inisiatif Indonesia tanpa paksaan dari negara lain atau iming-iming uang.”
Rugulasi tersebut merupakan langkah awal kebijakan pemerintah untuk
mengelola hutan lebih baik dan efektif. Selama ini, Indonesia ikut
berpartisipasi dalam penurunan karbon dan gas emisi rumah kaca
dipersepsikan karena iming-iming pendanaan sebanyak 1 miliar dolar AS
ataupun proyek besar antar negara. ”Padahal tidak ada proyek besar
sama sekali, uang itu akan ada jika pengurangan emisi terjadi.”
Fasilitas pembayarannyapun harus diverifikasi dan diukur pihak
ketiga. Jika memang ada perubahan rencana kerja dan terbukti bisa
menurunkan emisi gas rumah kaca maka negara yang bersangkutan memang
berhak mendapatkan pembayaran.
Sebagai contoh, Norwegia berperan sebagai negara yang bisa
membayarkan uang tersebut karena tidak bisa berkontribusi menurunkan
emisi melalui hutannya.
Sementara sejumlah negara menolak membuat komitmen serupa.
Contohnya, China tidak mau menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) selama
negara maju lain tidak berkontribusi menurunkan emisi dalam jumlah yang
lebih besar.
“Sedangkan Amerika tidak mau melakukan komitmen baik penurunan gas
rumah kaca maupun menyumbangkan uang kepada negara yang bersedia
melakukannya. “Jadi ini tidak bisa dipaksakan.” terangnya.
Untuk diketahui, Indonesia berkomitmen bisa menurunkan emisi gas
rumah kaca dan karbon sebanyak 26 persen pada 2020 dengan
menandatangani moratorium lahan gambut dan primer dengan kompensasi
dana sebesar 1 miliar dolar AS.
Dunia Internasional Pantau Indonesia
E. Herman Khaeron, Wakil Ketua Komisi IV DPR
Hukuman kepada kejahatan illegal logging sangat ringan sehingga
tidak menimbulkan efek jera. Patut diduga hal tersebut disebabkan
adanya kongkalikong dengan oknum aparat penegak hukum.
“Kami sejak dulu mendesak agar hukuman pembalak liar diperberat. Selama itu tidak dilakukan hutan kita tak pernah aman.”
Salah satu upaya yang dilakukan DPR adalah bekerja keras segera
merampungkan RUU Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar (P3L).
Dengan aturan baru itu diharapkan bisa menekan kejahatan perusakan
hutan.
Dalam pembahasan RUU P3L itu juga disetujui tentang status hutan
lindung, hutan industri, dan semua ratifikasi konversi internasional
tentang lingkungan hidup, dan money laundering.
Selain itu akan diatur pula masalah pemberian penghargaan bagi
petugas yang berjasa, pemberian sanksi pidana bagi pejabat daerah yang
dianggap lalai, dan pemberian hukuman maksimal bagi pelaku illegal
logging. “Nantinya aparat penegak hukum memiliki instrumen hukum yang
kuat menjerat cukong-cukong yang selama ini tidak tersentuh.”
DPR memiliki alasan kuat supaya lembaga yang menjalankan fungsi P3L
cepat terbentuk. Maraknya terjadinya kasus penebangan liar atau illegal
logging itu sebagai akibat lemahnya sistem pengamanan hutan di
seluruh daerah. Apalagi, tidak sedikit kepala daerah yang memberikan
izin secara sepihak bagi perusahaan perambahan hutan. “Makanya dalam
setiap kasus-kasus illegal logging dan illegal mining tidak sedikit para
bupati sampai gubernur yang berurusan dengan lembaga penegak hukum.”
Pembalakan hutan yang terjadi di Indonesia sudah sangat
memprihatinkan. Masyarakat, petugas, dan pengusaha sedikit sekali yang
peduli terhadap dampak kegundulan hutan Indonesia. Padahal, illegal
logging merupakan tindakan kejahatan luar biasa yang merugikan
masyarakat, kelangsungan hidup jutaan hewan, dan memotong mata rantai
kehidupan.
Kalau tidak cepat ditanggulangi akan datang kerugian dan bencana
yang lebih besar, bukan hanya kayu-kayu yang dicuri, tapi lingkungan
sekitar akan semakin hancur. Sungguh tragis, para mafia hutan yang
mendapatkan keuntungan, tapi masyarakat yang harus menanggung
kerugiannya. Perlu biaya dan waktu lama untuk mengembalikan kondisi
kerusakan alam akibat tindak pidana hutan kembali ke kondisi semula.
“Dunia internasional terus memantau langkah Indonesia menangani
masalah pembalakan liar.”
Ekologi Rusak, Hutan Rusak
Zenzi Suhadi, Juru Kampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar Walhi
Sekalipun Kemenerian Kehutanan sudah mengklaim laju kerusakan hutan
di Indonesia menurun. Tapi, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)
menilainya masih sangat luas dan merugikan negara.
“Kegiatan pertambangan dan perkebunan illegal memberikan kontribusi terbesar atas kerusakan hutan di tanah air.”
Masih tingginya tingkat kerusakan hutan itu sebagai dampak dari
kemudahan dalam pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk
kepentingan bisnis pertambangan dan perkebunan.
Berdasarkan catatan Walhi, awal tahun ini saja Kemenhut mengeluarkan
izin prinsip dan pinjam pakai kawasan hutan untuk 1.156 lokasi
pertambangan. Padahal lokasi tambang itu berstatus tumpang tindih dan
bersinggungan dengan kawasan hutan primer seluas 2,3 juta hektare.
Kesan yang timbul adalah pemerintah bukan melindungi ekologi yang ada
di dalam hutan tapi melindungi kawasan hutannya saja.
Padahal fungsi ekologi dalam hutan sangat penting. Sebab, bila
ekologi rusak praktis hutan akan rusak pula. “Selama ini proyek-proyek
rehabilitasi hutan yang didengungkan pemerintah masih jauh dari
harapan.” [Harian Rakyat Merdeka]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar