Senin, 02 Maret 2015

Pembalakan Hutan Dalam Film Danum Baputi

Kalau kita membaca artikel di bawah dan menonton film Danum Baputi "Penjaga Mata Air" makan dalam film seakan anda melihat visualisasi kejadi dari tulisan yang nyata.
 
Kalimantanreview.com,
Pembalakan hutan baik legal maupun ilegal merupakan salah satu masalah serius yang mengancam kelestarian hutan Indonesia. Kerugian akibat pembalakan hutan tersebut sangat besar baik dari segi ekonomi, aspek lingkungan hidup, atau pun aspek kebudayaan masyarakat adat terutama sekali yang dirasakan oleh sekelompok masyarakat adat yang hidupnya sangat tergantung dengan keberadaan alam.

Berdasarkan hasil penelitian Greenpeace mencatat bahwa tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai angka 3,8 juta hektar per tahun, yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas pembalakan hutan (Johnston, 2004). Sedangkan data Badan Penelitian Departemen Kehutanan menunjukkan angka Rp 83 miliar per hari sebagai kerugian finansial akibat pembalakan hutan tersebut (Antara, 2004). Saking seriusnya dampak negatif akibat ilegal logging (baca pembalakan hutan) mantan Menteri Kehutanan, M. Prakosa menyamakannya dengan kejahatan yang dilakukan oleh kelompok terorisme.

Di Provinsi Kalimantan Barat belum terlalu banyak mengambil benang merah dari berbagai peristiwa bencana alam yang tanpa henti telah melanda negeri ini. Bencana banjir terjadi terus-menerus serta selalu mengalami peningkatan dari sisi ketinggian air karena rusaknya hutan yang salah satunya disebabkan oleh aktivitas pembalakan hutan.

Hal ini terbukti, Senin (21/1) malam dan Rabu (23/1) siang lalu, tiga rakit yang mengangkut ribuan kayu yang disinyalir sebagai hasil dari pembalakan hutan berasal dari Kapuas Hulu ditangkap tim gabungan dan jajaran Polres Sintang, di perairan Sungai Kapuas, tepatnya di daerah Sungai Putih, Kelurahan Kapuas Kanan Hilir, Kecamatan Sintang. Dalam kasus ini Polres Sintang awalnya hanya menetapkan 33 warga sebagai tersangka.

Dalam perkembangannya, penahanan kayu serta penetapan tersangka tersebut belum mampu membuat jera para dalang (cukong) maupun pelaku langsung pembalakan hutan tersebut. Baru-baru ini, tim gabungan TNI, Polisi dan Polisi Kehutanan, Kamis (7/2) kembali menyita kayu yang kalau dijumlahkan dengan penyitaan kayu bulan-bulan sebelumnya di tahun 2008 mencapai 34.500 batang kayu bulat dan 2.500 batang kayu olahan serta menahan 800 orang yang membawa kayu tersebut (Kompas, 11 Februari 2008).

Dalam penanganan masalah pembalakan hutan tersebut pemerintah Provinsi Kalimantan Barat sepertinya berada pada posisi kadang mau maju kadang pula harus mundur. Sekian banyak program yang sudah digagas, namun sampai saat ini belum menunjukkan titik cerah.

Menurut beberapa instansi terkait, penghentian pembalakan hutan baik legal ataupun ilegal bak buah si malakama di Provinsi Kalimantan Barat. Dimakan mati bapak, kalau tidak dimakan mati ibu. Artinya di sisi lain ingin mempertahankan kelestarian lingkungan, namun di sisi lain dengan alasan pendapatan daerah maka hutan masih jadi korban. Sangat dilematis. Hal ini diungkapkan oleh Kabid Humas Polda Kalimantan Barat, AKBP Suhadi. Menurutnya di satu sisi harus menegakkan hukum, di lain sisi masyarakat ingin kayunya dilepaskan (Borneo Tribune, 5 Februari 2008). Hal lain yakni persoalan perut dan kemiskinan yang sering dijadikan alasan mengapa tingginya tingkat pembalakan hutan tersebut semakin menambah dilematis dalam menyelesaikan dan menghentikan kasus pembalakan.

Pemecahan masalah menjadi semakin rumit dengan adanya indikasi di kalangan aparat penegak hukum yang masih saja bermain mata dengan pelakunya, demikian menurut Tobias Ranggi, Wakil Ketua Komisi C DPRD Provinsi Kalimantan Barat. Menurutnya bahwa kegagalan pemberantasan pembalakan liar karena banyaknya oknum yang justru melindungi sekaligus pelakunya (Pontianak Post, 5 Februari 2008).

Hal yang sama juga di kemukakan oleh Andel, SH., praktisi hukum. Andel mengatakan bahwa kalangan penegak hukum menjalankan tugas dan wewenangnya hanya dengan menangkap masyarakat yang menebang langsung kayu-kayu atas pesanan para cukong. Selama ini yang ditangkap hanya masyarakatnya saja, cukongnya tidak tersentuh sama sekali. Kalaupun ditangkap proses hukumnya tidaklah maksimal. Pelakunya dibebaskan saat proses di tingkat pengadilan pertama (Pontianak Post, 5 Februari 2008).

Kegiatan pembalakan hutan kini semakin terorganisir dan sistemik. Sedemikian parahnya dampak dari kegiatan pembalakan hutan ini, maka penanganannya pun seharusnya tidak bisa dilakukan setengah hati. Sanksi berupa hukuman berat seharusnya diberlakukan terhadap dalang dari segala aktivitas ini. Tidak hanya masyarakat saja yang selalu diproses tetapi lebih kepada mencari para cukong kayu tersebut. Sebab, tindakan ini dapat dikategorikan sebagai kriminal berskala besar yang merugikan negara.

Sayangnya, penegakan hukum di provinsi ini masih sangat lemah, dan pengawasan terhadap pengelola hutan masih kurang. Banyak aktivis lingkungan telah memberi masukan kepada pemerintah untuk menyelamatkan hutan Kalimantan yang katanya menjadi paru-paru dunia; misalnya pemerintah harus melakukan moratorium jeda tebang hutan, tetapi tak pernah digubris. Sekarang, kita tinggal menunggu panen bencana lingkungan itu.

Andika Pasti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar