Kalau kita membaca artikel di bawah dan menonton film Danum Baputi "Penjaga Mata Air" makan dalam film seakan anda melihat visualisasi kejadi dari tulisan yang nyata.
Kalimantanreview.com,
Pembalakan hutan baik legal maupun ilegal merupakan salah satu masalah
serius yang mengancam kelestarian hutan Indonesia. Kerugian akibat
pembalakan hutan tersebut sangat besar baik dari segi ekonomi, aspek
lingkungan hidup, atau pun aspek kebudayaan masyarakat adat terutama sekali
yang dirasakan oleh sekelompok masyarakat adat yang hidupnya sangat
tergantung dengan keberadaan alam.
Berdasarkan hasil penelitian Greenpeace mencatat bahwa tingkat kerusakan
hutan di Indonesia mencapai angka 3,8 juta hektar per tahun, yang sebagian
besar disebabkan oleh aktivitas pembalakan hutan (Johnston, 2004). Sedangkan
data Badan Penelitian Departemen Kehutanan menunjukkan angka Rp 83 miliar
per hari sebagai kerugian finansial akibat pembalakan hutan tersebut
(Antara, 2004). Saking seriusnya dampak negatif akibat ilegal logging (baca
pembalakan hutan) mantan Menteri Kehutanan, M. Prakosa menyamakannya dengan
kejahatan yang dilakukan oleh kelompok terorisme.
Di Provinsi Kalimantan Barat belum terlalu banyak mengambil benang merah
dari berbagai peristiwa bencana alam yang tanpa henti telah melanda negeri
ini. Bencana banjir terjadi terus-menerus serta selalu mengalami peningkatan
dari sisi ketinggian air karena rusaknya hutan yang salah satunya disebabkan
oleh aktivitas pembalakan hutan.
Hal ini terbukti, Senin (21/1) malam dan Rabu (23/1) siang lalu, tiga rakit
yang mengangkut ribuan kayu yang disinyalir sebagai hasil dari pembalakan
hutan berasal dari Kapuas Hulu ditangkap tim gabungan dan jajaran Polres
Sintang, di perairan Sungai Kapuas, tepatnya di daerah Sungai Putih,
Kelurahan Kapuas Kanan Hilir, Kecamatan Sintang. Dalam kasus ini Polres
Sintang awalnya hanya menetapkan 33 warga sebagai tersangka.
Dalam perkembangannya, penahanan kayu serta penetapan tersangka tersebut
belum mampu membuat jera para dalang (cukong) maupun pelaku langsung
pembalakan hutan tersebut. Baru-baru ini, tim gabungan TNI, Polisi dan
Polisi Kehutanan, Kamis (7/2) kembali menyita kayu yang kalau dijumlahkan
dengan penyitaan kayu bulan-bulan sebelumnya di tahun 2008 mencapai 34.500
batang kayu bulat dan 2.500 batang kayu olahan serta menahan 800 orang yang
membawa kayu tersebut (Kompas, 11 Februari 2008).
Dalam penanganan masalah pembalakan hutan tersebut pemerintah Provinsi
Kalimantan Barat sepertinya berada pada posisi kadang mau maju kadang pula
harus mundur. Sekian banyak program yang sudah digagas, namun sampai saat
ini belum menunjukkan titik cerah.
Menurut beberapa instansi terkait, penghentian pembalakan hutan baik legal
ataupun ilegal bak buah si malakama di Provinsi Kalimantan Barat. Dimakan
mati bapak, kalau tidak dimakan mati ibu. Artinya di sisi lain ingin
mempertahankan kelestarian lingkungan, namun di sisi lain dengan alasan
pendapatan daerah maka hutan masih jadi korban. Sangat dilematis. Hal ini
diungkapkan oleh Kabid Humas Polda Kalimantan Barat, AKBP Suhadi. Menurutnya
di satu sisi harus menegakkan hukum, di lain sisi masyarakat ingin kayunya
dilepaskan (Borneo Tribune, 5 Februari 2008). Hal lain yakni persoalan perut
dan kemiskinan yang sering dijadikan alasan mengapa tingginya tingkat
pembalakan hutan tersebut semakin menambah dilematis dalam menyelesaikan dan
menghentikan kasus pembalakan.
Pemecahan masalah menjadi semakin rumit dengan adanya indikasi di kalangan
aparat penegak hukum yang masih saja bermain mata dengan pelakunya, demikian
menurut Tobias Ranggi, Wakil Ketua Komisi C DPRD Provinsi Kalimantan Barat.
Menurutnya bahwa kegagalan pemberantasan pembalakan liar karena banyaknya
oknum yang justru melindungi sekaligus pelakunya (Pontianak Post, 5 Februari
2008).
Hal yang sama juga di kemukakan oleh Andel, SH., praktisi hukum. Andel
mengatakan bahwa kalangan penegak hukum menjalankan tugas dan wewenangnya
hanya dengan menangkap masyarakat yang menebang langsung kayu-kayu atas
pesanan para cukong. Selama ini yang ditangkap hanya masyarakatnya saja,
cukongnya tidak tersentuh sama sekali. Kalaupun ditangkap proses hukumnya
tidaklah maksimal. Pelakunya dibebaskan saat proses di tingkat pengadilan
pertama (Pontianak Post, 5 Februari 2008).
Kegiatan pembalakan hutan kini semakin terorganisir dan sistemik. Sedemikian
parahnya dampak dari kegiatan pembalakan hutan ini, maka penanganannya pun
seharusnya tidak bisa dilakukan setengah hati. Sanksi berupa hukuman berat
seharusnya diberlakukan terhadap dalang dari segala aktivitas ini. Tidak
hanya masyarakat saja yang selalu diproses tetapi lebih kepada mencari para
cukong kayu tersebut. Sebab, tindakan ini dapat dikategorikan sebagai
kriminal berskala besar yang merugikan negara.
Sayangnya, penegakan hukum di provinsi ini masih sangat lemah, dan
pengawasan terhadap pengelola hutan masih kurang. Banyak aktivis lingkungan
telah memberi masukan kepada pemerintah untuk menyelamatkan hutan Kalimantan
yang katanya menjadi paru-paru dunia; misalnya pemerintah harus melakukan
moratorium jeda tebang hutan, tetapi tak pernah digubris. Sekarang, kita
tinggal menunggu panen bencana lingkungan itu.
Andika Pasti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar